This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 16 September 2012

SISTEM POLITIK PERBANDINGAN

Sistem Politik Perbandingan Gabriel A. Almond

Gabriel A. Almond (1956) menyatakan, dalam jurnalnya yang berjudul Comparative Political System, bahwa teori sosial adalah sebuah konsep cure-all bagi semua “penyakit” disiplin ilmu (dalam konteks ini, perbandingan pemerintahan). Kegunaan konsep sosiologi dalam menemukan perbedaan yang esensial diantara sistem-sistem politik. Konsep pertama adalah sistem politik adalah sistem dari tindakan yang artinya perbandingan harus diobeservasi melalui empiris. Kedua, sistem politik didefinisikan sebagai satu set dari semua role yang berperan atau sebagai sebuah struktur role. Ketiga, perbedaan sistem politik merupakan monopoli legitimasi pada paksaan fisik terhadap teritori dan populasi tertentu. Konsep keempat adalah orientasi terhadap aksi politis (pemahaman, pilihan dan evaluasi).
Setiap sistem politik terikat pada pola tertentu orientasi pada aksi politis, yakni apa yang kita sebut budaya berpolitik. Perlu diketahui bahwa budaya politik sejalan dengan sistem politik/ masyarakat serta ia tidak sama dengan budaya umum kendati masih berhubungan. Sebab orientasi politik meliputi pemahaman, intelektual, dan adaptasi dari situasi eksternal. Orientasi politik terpisah dari standar dan nilai budaya umum serta memiliki otonomi tersendiri. Fungsi dari skema konseptual ini akan dijelaskan melalui studi kasus.
Sistem Politik Anglo-American

MK ORG ADM.INTERNASIONAL

Mas Yal

INDONESIA Konstelasi yang Samar

PETA POLITIK
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 19 Maret 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/19/04035222/indonesia
Oleh BAMBANG SETIAWAN
Hampir di setiap pemilihan umum demokratis di Indonesiamemunculkan kejutan dan perubahan dalam peta politik kewilayahan. Apakah kejutan yang sama akan terjadi dalam Pemilu 2009?
Pada pemilu pertama di tahun 1955, banyak perkiraan yang dilakukan oleh pelaku dan pengamat politik ternyata keliru. Herbert Feith (Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, 1957) mengungkapkan, tokoh-tokoh dari berbagai aliran politik sama-sama dikejutkan oleh hasil pemilihan umum itu. Kejutan terbesar adalah sukses Nahdlatul Ulama (NU) menaikkan jumlah wakilnya di parlemen dari delapan menjadi 45 dan perolehan Masyumi yang tidak disangka begitu kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebaliknya, kekuatan PNI dan PKI di kedua wilayah itu juga menimbulkan hal yang tidak diduga. Terutama PNI karena dengan memenangkan kedua wilayah itu partai nasionalis ini bisa duduk di peringkat pertama dan mengungguli perolehan suara Masyumi yang dominan dalam penguasaan wilayah.
Dalam Pemilu 1955, Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.
Empat puluh empat tahun kemudian, ketika pemilu demokratis kembali digelar, banyak yang memperkirakan Golkar akan tamat seiring dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Ternyata pendapat ini keliru. Golkar, bahkan masih dapat menduduki posisi kedua dalam perolehan suara nasional. Wilayah yang dimenangkannya pun masih cukup signifikan untuk kembali membangun kepercayaan. Dari 313 wilayah kabupaten/kota dalam Pemilu 1999, Golkar masih menguasai 114 daerah (36,4 persen).
Sebaliknya, partai-partai baru yang tumbuh seiring dengan gerakan reformasi ternyata tidak dominan, baik dalam perolehan suara maupun wilayah yang dimenangkannya. Di antara 45 partai baru dari total 48 partai, hanya tiga partai yang mampu meraih kemenangan berdasarkan basis wilayah, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Dalam pemilu ini pula, kemunculan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi fenomenal karena mampu melampaui perolehan suara dengan selisih cukup jauh dengan pesaing terdekatnya (Partai Golkar) dan tiga kali lipat dari perolehan suara partai terbesar ketiga. Wilayah yang dikuasainya pun dominan, 53 persen atau 166 kabupaten/kota.
Akan tetapi, determinasi kewilayahan PDI-P ternyata tidak bertahan lebih dari lima tahun karenanya Pemilu 2004 menimbulkan kejutan berikutnya. Suara untuk partai yang lekat dengan sosok putri mendiang mantan Presiden Soekarno tersebut turun drastis, tinggal separuhnya (18,5 persen). Wilayah yang didominasinya pun menyusut, tinggal 20,2 persen dari 440 kabupaten/kota.
Sebaliknya, keterpurukan Golkar mampu dipulihkan dengan cepat. Meskipun secara nasional perolehan suara Golkar justru turun dari 22,4 persen pada tahun 1999 menjadi 21,6 persen pada tahun 2004, menduduki peringkat satu dan sebaran wilayah yang mampu dimenangkannya pun makin banyak. Dalam pemilu terakhir, partai berlambang beringin itu mampu menaikkan penguasaan wilayahnya menjadi 61,6 persen atau 271 kabupaten/kota.
Penguasaan wilayah oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004 banyak terjadi di wilayah-wilayah hasil pemekaran. Dari 143 daerah yang dimekarkan antara tahun 1999-2004, 72 persen atau 103 wilayah pemekaran dimenangkan oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004. PDI-P hanya memenangkan 12,6 persen wilayah pemekaran, sisanya diperebutkan oleh partai-partai lain.
Pemilu 2004 juga ditandai dengan fenomena munculnya dua kekuatan partai baru, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat, yang mampu mengungguli raihan suara PAN. Kehadiran dua partai yang tumbuh secara cepat ini menandai jejak baru dalam peta politik nasional.
Jejak ideologis